Kamis, 01 Juni 2017

Hakekat Manusia menurut August Comte


Hakekat Manusia menurut August Comte



Riwayat Hidup 

Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis tahun 1798, keluarganya beragama khatolik dan berdarah bangsawan. Dia mendapatkan pendidikan di Ecole Polytechnique di Prancis, namun tidak sempat menyelesaikan sekolahnya karena banyak ketidakpuasan didalam dirinya, dan sekaligus ia adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. 

Comte akhirnya memulia karir profesinalnya dengan memberi les privat bidang matematika. Namun selain matematika ia juga tertarik memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat terutama minat ini tumbuh dengan suburnya setelah ia berteman dengan Saint Simon yang mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya. 

Kehidupan ekonominya pas-pasan, hampir dapat dipastikan hidupa dalam kemiskinan karena ia tidak pernah dibayar sebagaimana mestinya dalam memberikan les privat, dimana pada waktu itu biaya pendidikan di Prancis sangat mahal. 

Pada tahun 1842 ia menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Course of Positive Philosophy dalam 6 jilid, dan juga karya besar yang cukup terkenal adalah System of Positive Politics yang merupakan persembahan Comte bagi pujaan hatinya Clothilde de Vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran Comte di karya besar keduanya itu. Dan dari karyanya yang satu ini ia mengusulkan adanya agama humanitas, yang sangat menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam mencapai suatu masyarakat positifis. 

Comte hidup pada masa akhir revolusi Prancis termasuk didalamnya serangkaian pergolakan yang tersu berkesinambungan sehingga Comte sangat menekankan arti pentingnya Keteraturan Sosial. Pada tahun 1857 ia mengakhiri hidupnya dalam kesengsaraan dan kemiskinan namun demikian namanya tetap kita kenang hingga sekarang karena kegemilangan pikiran serta gagasannya. 

Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu : 
  • Metode ini diarahkan pada fakta-fakta 
  • Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup 
  • Metode ini berusaha ke arah kepastian 
  • Metode ini berusaha ke arah kecermatan. 

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan. 

Tahap – Tahap Pemikiran Manusia 

Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua,tahap metafisik, ketiga, tahap positif. 

1. Tahap Teologis 

Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani. Ada beberapa cara berpikir dalam tahap ini: 

  • A. Fetiyisme dan Animisme 

Manusia purba tidak mengenal konsep abstrak; benda-benda tidak dimengerti dalam bentuk konsep umum, tetapi sebagai sesuatu yang individual. Manusia mempercayai adanya kekuatan magis di benda-benda tertentu, yang mempunyai jiwa dan rohnya sendiri. 

  • B. Politeisme 

Adalah pemikiran yang lebih maju, yang sudah mulai mengelompokkan semua benda dan kejadian ke dalam konsep yang lebi umum berdasarkan kesamaan di antara mereka. Dalam tahap ini manusia tidak lagi berpikir tiap-tiap benda yang mempunyai roh, tapi tiap jenis atau kelas benda. Misalnya dalam cara berpikir animisme diyakini bahwa tiap sawah dan ladang dihuni oleh roh-roh leluhur penduduk desa, maka dalam cara berpikir politeisme diyakini bahwa Dewi Sri yang menghuni dan memelihara semua sawah dan ladang di desa manapun. 

C. Monoteisme 

Tahap tertinggi di mana manusia menyatukan roh (dewa) dari benda-benda, dan hanya mengakui satu Roh yang mengatur dan menguasai bumi dan langit. Semua benda dan kejadian, termasuk manusia, berasal dan berakhir dari kekuatan Roh itu, yaitu Tuhan. Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang membawa pengaruh yang besar pada kehidupan manusia, karena dijadikan suatu pedoman hidup masyarakat dan landasan institusional dan alat jastifikasi suatu negara. 

Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu. 

2. Tahap Metafisik 

Tahap ini juga bisa disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berfikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiria, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala. 

3. Tahap Positifistik 

Tahap positif berusaha untuk menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada tahap ini seseorang tahu bahwa tiada gunanya untuk mempertanyakan atau pengetahuan yang mutlak, baik secara teologis ataupun secara metafisika. Pada tahap ini orang berusaha untuk menemukan hukum dari segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang pada akhirnya akan menghasilan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada tahap ini menerangkan berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Tahap ini menurut Comte adalah suatu tahap yang berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, bahkan berlaku bagi setiap masing-masing individu itu sendiri. Ketika seorang masih perpandangan teologis berarti ia masih berfikiran kuno/ketinggalan zaman walaupun ia hidup dizaman yang modern. Dan ketika orang berfikiran realitas/nyata maka dia dapat sebagai seorang yang modern walaupun dimana saja mereka berada. Pendapat ini jika dilihat dari sudut pandangnyaakanlebih menjurus kepada tahap dalam keyakinan hati manusia. 

Bagi Comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani sekluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam ini, Comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semua dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan. 

Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga. Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. 

Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat posotof apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkrit. Dengan demikian, makan ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabnag ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisikyang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan. 

Pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. 



SUMBER : 

http://www.kompasiana.com/anafitri1995/positivisme-menurut-pandangan-auguste-comte_54f71910a3331100258b4941 

Jumat, 21 April 2017

Pemikiran Schopenhauer

Arthur Schopenhauer merupakan salah satu filsuf yang memberikan ide tentang filsafat seni/estetika yang berpengaruh pada abad ke-18. Dalam perkembangan filsafat, Schopenhauer dipengaruhi dengan kuat oleh Imanuel Kant dan juga pandangan Buddha. Pemikiran Kant nampak di dalam pandangan Schopenhauer tentang dunia sebagai ide dan kehendak. Schopenhauer mengembangkan pemikiran Immanuel Kant tersebut dengan menyatakan bahwa benda pada dirinya sendiri itu bisa diketahui, yakni “kehendak”. Filsafat Schopenhauer hadir sebagai suatu reaksi terhadap filsafat Hegel. Dalam Hegel masih ditemui suatu optimisme rasional; segala ‘Ada’ akhirnya bersifat rasional, bermakna dan dapat dimengerti. Schopenhauer berbeda dalam hal rasionalitas dan kebermaknaan Ada tersebut; dasar ada tidak lagi rasional, melainkan irasional, dan tidak berbentuk kesadaran melainkan ketidaksadaran. Karya utama Schopenhauer, yang membuatnya terkenal, “Die Welt als Wille und Vorstellung” (Dunia sebagai Kehendak dan Presentasi) bermula dengan penilaian tentang hakekat dan batas-batas pemahaman, tetapi tidak dengan pernyataan-pernyataan dogmatis tentang prinsip-prinsip metafisika.
Ia mempengaruhi beberapa filsuf dengan pemikirannya. Bahkan, Hittler mengaguminya. Menurut Schopenhauer, dunia ini adalah representasi ide atau pemikiran kita. Realitas adalah kehendak itu sendiri. Akan tetapi, kehendak itulah sumber penderitaan manusia. Untuk melepaskan diri dari penderitaan, menurut Schopenhauer, kita harus menghilangkan kehendak egoistik, menyerah kepada kosmik, dan menolong sebanyak mungkin orang. Schopenhauer mempunyai sebuah undang-undang yang kuat. Pemikiran Schopenhauer banyak dipengaruhi oleh pandangan Buddha dan paham filsuf Imanuel Kant. Kekagumannya kepada keduanya itu amat besar. Hal ini terlihat dari ruang kerjanya dipasang dengan kedua patung tokoh tersebut. 
Ajaran-ajaran dan pemikiran Arthur Schopenhauer berikut ini, antara lain:
  • Dunia Sebagai Ide/Gambaran
  • Kehendak Hidup
  • Keselamatan dari Penderitaan Eksistensi
  • Moralitas
  • Schopenhauer, Seks, dan Psikoanalisis


Daftar Pustaka :


Kamis, 06 April 2017

Pokok - Pokok Pikiran Rene Descartes | Filsafat Manusia

Pokok Pokok Pikiran Rene Descartes

Rene Decartes merupakan tokoh filsafat yang menganut paham rasinalisme yang menganggap bahwa akal adalah alat terpenting untuk memeperoleh pengetahuan. Dan menganggap bahwa pengetahuan indra dianggap sering menyesatkan. Lahir tahun 1596 M dan meninggal tahun 1650 M. Ia adalah anak ketiga dari seorang anggota parlemen inggris. Merupakan orang yang taat mengerjakan ibadah menurut ajaran Katholik, tetapi beliau juga menganut bid’ah-bid’ah Galileo yang pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh gereja. Belajar di College Des Jesuites La Fleche dari tahun 1604 – 1612 M. Beliau memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Perancis, musik dan akting. Disamping beliau juga belajar tentang filsafat, matematika, fisika, dan logika. Bahkan, beliau mendapat pengetahuan tentang logika Aristoteles, etika Nichomacus, astronomi, dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Dalam pendidikannya Descartes merasakan beberapa kebingungan dalam memahami berbagai aliran dalam filafat yang saling berlawanan. Dan pernah masuk tantara Belanda dan Bavaria. Dan akhirnya ia meninggal di Swedia tahun 1650 M setelah menerima panggilan Ratu Christine yang ingin belajar kepada dirinya.

Dalam pernyataanyang ia katakan Cogito ergo sum, ia menyatakan bahwa sumber keyakinan itu berasal dari keragu-raguan. Maka dari itu dalam epistemologinya Descartes dengan menggunakan metode analitis dan dengan pendekatan filsafat rasional yang mendahulukan akal ia mengatakan bahwa “ aku berfikir maka aku ada”. Dimulai dengan meragukan apa yang ada, segalanya, akan tetapi ia tidak dapat memungkiri bahwa dirinya yag sedang berfikitr tidak dapat diragukan. Maka dia mengatakan aku berfikir, maka aku ada.

Dalam ontologinya Descartes juga mengatakan bahwa agar hakikat segala sesuatu dapat ditentukan dipergunakan pengertian-pengertian tertentu, yaitu substansi, atribut atau sifat dasar, dan modus.Subtansi merupakan apa yang berada sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada ,yaitu Tuhan. Atribut adalah sifat asasi mutlak perlu dan tidak dapat ditiadakan,yaitu pemikiran. Pemikiran adalah perbuatan jiwa berdasarkan hakekatnya sendiri, bebas dari pada tubuh. Sedangkan modus adalah sifat-sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat diubah-ubah,yaitu pikiran- pikiran individual. Dengan itu ia mengatak jelas bahwa roh dan jiwa memiliki sebagai sifat asasi; pemikiran, dam memiliki sebagai modinya; pikiran-pikiran individual,gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Roh pada jiwa pada hakikatnya berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang asasi benda adalah keluasan.

  • Metode dan Pendekatan Pemikiran Descartes
Dalam pemikiran Descartes Cogito Ergo Sum yang berarti aku berfikir maka aku ada, beliau menggunakan metode analistis kristis melalui keraguan (skeptis) dengan penyangsian. Yaitu dengan menyangsikan atau meragukan segala apa yang bisa diragukan. Descartes sendiri menyebutnya metode analitis. Descartes juga menegaskan metode lain: empirisme rasionil. Metode itu mengintregasikan segala keuntungan dari logika, analisa geometris, dan aljabar. Yang di maksud analisa geometris adalah ilmu yang menyatukan semua disiplin ilmu yang dikumpulkan dalam nama “ilmu pasti”.

Mengenai pendekatan yang digunakan Descartes dalam menganalisa pemikirannya, sudah kelihatan jelas bahwa beliau menggunakan pendekatan filsafat yang mana menganut paham rasionalisme yang sangat mengedepankan akal.
Dapat dipahami bahwasanya Rene Descartes dalam “Cogito Ergo Sum”nya menggunakan metode analitis tentang penyangsian dan dengan menggunakan pendekatan filsafat yang rasional.
  •  Pokok-Pokok Pemikiran

1.      Cogito ergo sum
Cogito Ergo Sum atau yang lebih dikenal dengan “aku berfikir maka aku ada” merupakan sebuah pemikiran yang ia hasilkan melalui sebuah meditasi keraguan yang mana pada awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh kebenaran pasti Descartes memepunyai metode sendiri. Itu terjadi karena Descartes berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode tersendiri agar hasil-hasilnya benar-benar logis.
Cogito dimulai dari metode penyangsian. Metode penyangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Oleh karenanya kesangsian ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia material, bahwa saya mempunyai tubuh, bahwa tuhan ada). Kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kasangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan fundamen bagi seluruh ilmu pengetahuan. Dan Descartes tidak dapat meragukan bahwa ia sedang berfikir. Maka, Cogito ergo sum: saya yang sedang menyangsikan,ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku.
Apa sebab kebenaran ini bersifat sama sekali pasti? Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah (Inggris: clearly and distinctly). Jadi, hanya yang saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah harus diterima sebagai benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran.

2.      Ide-ide bawaan
Karena kesaksian apa pun dari luar tidak dapar dipercayai, maka menurut Descartes saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dangan menggunakan norma tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian,apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan tiga “ide bawaan” (Inggris: innate ideas).Ketiga ini yang sudah ada dalam diri saya sejak saya lahir msing-masing ialah pemikiran, Tuhan, dan keluasan.
a. Pemikiran
Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
b. Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna
Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempuna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Tuhan.
c. Keluasan
Materi sebagai keluasan atau ekstensi ( extension ), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
3.      Substansi
Descartes menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi:Pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatny adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk memebuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan dmikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna.

4.      Manusia
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis ( sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahn ini tidak memadai bagi Descartes sendiri.

Epistemologi Pemikiran Rene Descartes
Epistemologi merupakan pembicaraan mengenai bagaimana sebuah ilmu pengetahuan diperoleh. Dalam perjalanannya mencari kepastian, Descartes telah menemukan metode tersendiri. Yaitu dengan cara meragukan semua yang dapat diragukan. Kesangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Ia meragukan segala ilmu dan hasil-hasilnya seperti adanya kosmos fisik, termasuk badannya, dan bahkan adanya Tuhan. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk mendukung keragu-raguannya ini adalah kemungkinan kekeliruan panca indra, kemungkinan ia sedang mimpi, dan adanya demon jahat penipu. Ia seolah-olah bersikap sebagai seoarang skeptikus. Dan, memang pada saat itu, ajaran skeptisisme, sebagaimana dikenal dalam karya Sextus Empirious, agak menjadi populer.Menurut Descartes, untuk dapat memulai sesuatu yang baru, ia harus memiliki suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal yang pasti itu dapat ditemukan lewat keragu-raguan.
Ciri utama dari filsafatnya adalah penekanan yang ia sangat menggarisbawahi pada kenyataan bahwa satu hal kita sebagai manusia seluruhnya dapat merasa seyakin-yakinnya, --bahkan oleh orang yang mengalami keraguan yang amat sekalipun—adalah “keberadaan dirinya sendiri”. Cogito, Ergo sum ( I think, therfore I am ). Seluruh sistem filsafatnya disusun untuk menghindarkan atau menjauhkan diri dari sifat ragu-ragu yang ditimbulkan dari dirinya sendiri. Sistem filsafatnya dipersembahkan untuk menguji bagaimana sesungguhnya seseorang dapat memahami segala apa yang ada di luar dirinya (outside); bagaimana membangun kembali fondasi yang kokoh untuk sebuah keyakinann yang dapat dipertanggungjawabkan tentang hal-hal yang ada pada dunia di luar fondasi yang kokoh untuk kepercayaan terhadap adanya Tuhan. Dia juga menunut bahwa kepercayaan kita sesungguhnya dimulai dari –seperti yang biasa berjaln dalam sistem berfikir deduktif dalam wilayah matematika—dari premis-premis aksiomatik tertentu, yang secara intuitif bersifat “pasti”, dan dari sana secara perlahan-lahan –lewat pengambilan kesimpulan deduktif-- ke arah kesimpulan-kesimpuln yang dapat dibuktikan secara meyakinkan dan kokoh.

 Ontologi Rene Descartes ( substansi-atribut-modus)
Descartes telah mencari hakikat sesuatu, akan tetapi agar hakikat segala sesuatu dapat ditentukan dipergunakan pengertian-pengertian tertentu, yaitu substansi, atribu atau sifat dasar, dan modus.
Yang disebut substansi adalah apa yang berada sedemikian rupa, sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Substansi yang dipkirkan seperti itusebenarnya hanya ada satu yaitu Tuhan. Segala sesuatu yang lain hanay dapat dipikirkan sebagai berada dengan pertolongan tuhan. Jadi sebutan substansi sebenarnya tidak dapat dngan cara yang sama diberikan Tuhan dan kepada hal-hal lain. Hal-hal bendawi dan rohani yang diciptakan memang dapat juga dimasukkan ke dalam pengertian substansi itu, dan dalam prakteknya Descartes memasukkan jiwa dan materi dalam pengertian substansi juga.
Yang disebut atribut adalah sifat asasi. Tiap substansi memiliki sifat asasinya sendiri, yang menentukan hakikat substansi itu. Sifat asasi ini mutlak perludan tidak dapat ditiadakan. Sifat asasi ini adanya diadakan oleh segala sifat yang lain.Yang diebut modus (jamak dari modi) adalah segala sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat berubah.

Jelas dan teranglah sekarang bahwa segala substansi bendawi memiliki sebagai atribut atau sifat asasi; keluasan, dan memiliki sebagai modi; bentuk dan besarnya yang lahiriyah serta gerak dan perhentiannya. Dengan demikian segala benda tidk memiliki ketentuanyng kualitatif, yang menunjukkan kualitas atau mutunya. Seluruh realitas bendawi dihisabkan kedalam kuantitas atau bilangan. Oleh karena itu segala hal yang bersifat bendawi pada hakikatnya adalah sama. Perbedaan-perbedaannya bukan mewujudkan hal yang asai, melainkan hanya tambahan saja.

Jelas juga bahwa roh dan jiwa memiliki sebagai sifat asasi; pemikiran, dam memiliki sebagai modinya; pikiran-pikiran individual,gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Roh pada jiwa pada hakikatnya berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang asasi benda adalah keluasan. Roh dapat dipikirkan dengan jelasdan terpilah-pilah,tanpa memerlukan sifat asasi benda. Oleh karena itu secara apriori tiada kemungkinan yang satu mepengaruhi yang lain, sekalipun dalam praktek tamak ada pengaruhnya.

SUMBER :

  1. http://azimatus.blogspot.co.id/2016/02/pemikiran-descartes-1596-1650.html
  2. Bakker, Anton., Metode-Metode Filsafat.  1986. Jakarta: Ghalia Indonesia.
  3. Zubaedi. Filsafat Barat; Dari logika baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun. 2010. Yogyakarta: Arruzz  Media.

Rabu, 28 September 2016

Hanya dengan 500 Rupiah


Disuatu pagi yang cerah ada sepasang kekasih yang sedang dalam perjalanan menuju kampus. Mereka berdua menaiki kendaraan umum yaitu bus. Lalu pada saat perjalanan begitu banyak pengamen yang naik dan turun didalam bis yang mereka tumpangi. Dan setiap ada pengamen yang menaiki bis tersebut, sang kekasih dan wanita itu selalu memberikan uangnya kepada pengamen tersebut. sang  wanita yang melihat dan memperhatikan kegiatan tersebut langsung menegurnya dengan berkata “sampai berapa kali kamu akan selalu memberikan uang kepada setiap pengamen! Kalau ada 100 pengamen yang naik dan turun dari bis ini, apa kamu akan tetap memberikan uang mu ? aku rasa satu atau dua kali sudah cukup untuk kita memberikan uang untuk mereka”.
Sang lelaki pun menjawab “tidak apa-apa sayang”. Sang wanita pun terus menggerutu dan sang lelaki pun menjelaskan peada sang wanita, ia berkata “apa yang salah jika kita memberikan sedikit uang kita kepada mereka yang membutuhkan ? mereka hanya mendapatkan uang 500 Rupiah dari sebagian uang kita. Tidak ada seorang pun yang ingin diposisi mereka, terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Bayangkan jika kita di posisi mereka. Teruslah berbagi jika kita mampu. Karena itu tanda kita bersyukur dengan nikmat yang diberikan tuhan” mendengar sang kekasih berbicara seperti itu, sang wanita merasa sangat terharu dan bangga karena memiliki kekasih yang mempunyai hati begitu besar
Dari cerita diatas, ada satu hal yang dapat saya pelajari, yaitu “Berbagi dan Bersyukur”. Karena jika kita selalu bersyukur dengan nikmat yang  diberikan oleh tuhan, maka kita pun tidak akan pernah ragu untuk selalu berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Maka teruslah untuk berbagi ya teman-teman


Sekian dan terikamakasih